Thursday, October 10, 2019

HIV/AIDS


HIV merupakan virus yang memperlemah sistem imun tubuh dengan menyerang sel T CD4+.  Pasien dengan HIV biasanya lebih rentan terhadap infeksi oportunistik seperti candidiasis, pneumonia, tuberkulosis, citomegalovirus, toksoplasmosis dan lainnya. Penyakit ini dapat ditularkan melalui cairan kelamin, darah, dan air susu ibu (ASI) (Nelms dkk, 2007).

Berikut klasifikasi tahapan klinis HIV AIDS menurut WHO
Tahapan Klinis
Kondisi Klinis atau Gejala
Infeksi HIV Primer
·       Asimptomatik
·       Sindrom retroviral akut
Tahap I
·       Asimptomatik
·       Limfadenopati umum persisten
Tahap II
·       Penurunan berat badan sedang tak disengaja (<10 badan="" berat="" dari="" o:p="">
·       Infeksi saluran pernapasan berulang (sinusitis, tonsilitis, otitis media, dan faringitis)
·       Herpes zoster
·       Cheilitis angular
·       Ulserasi mulut berulang
·       Erupsi pruritus papular
·       Dermatitis seboroik
·       Infeksi jamur pada kuku

Tahap III
·       Penurunan berat badan yang parah (> 10% dari berat badan)
·       Diare kronis selama > 1 bulan
·       Demam persisten selama >1 bulan (> 37,6 ° C, intermiten atau konstan)
·       Kandidiasis oral persisten
·       Oral hairy leukoplakia
·       Tuberkulosis paru
·       Dugaan infeksi bakteri yang parah (pneumonia, empiema, infeksi sendi/tulang, meningitis, bakteremia)
·       Ulserasi stomatitis nekrotik akut, gingivitis,atau periodontitis
·       Anemia (hemoglobin <8 dl="" g="" o:p="">

·       Neutropenia (neutrofil <500 o:p="" sel="" ul="">
·       Trombositopenia kronis (trombosit <50 .000="" o:p="" sel="" ul="">

Tahap IV
·       Sindrom wasting HIV
·       Pneumocystis pneumonia
·       Pneumonia parah yang berulang
·       Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial, genital, atau situs anorektal selama > 1 bulan atau herpes viseral)
·       Kandidiasis esofagus (kandidiasis trakea, bronkus, atau paru-paru)
·       Tuberkulosis paru
·       Sarkoma kaposi
·       Infeksi cytomegalovirus
·       Toksoplasmosis sistem saraf pusat
·       Ensefalopati HIV
·       Kriptokokosis, paru (termasuk meningitis)
·       Infeksi mycobacteria non-TB diseminata
·       Leukoensefalopati multifokal progresif
·       Kriptosporidiosis kronis (diare)
·       isosporiasis kronis
·       Mikosis diseminata (misalnya, histoplasmosis, coccidioidomycosis, penisiliosis)
·       Bakteremia salmonella non-tifoid yang berulang
·       Limfoma
·       Karsinoma serviks invasif
·       Leishmaniasis atipikal diseminata
·       Gejala nefropati/kardiomiopati terkait HIV
·       Reaktivasi trypanosomiasis Amerika

Friday, July 29, 2016

Atresia Ani

Atresia ani merupakan kelainan kongenital dimana tidak terdapat lubang pada anus untuk mengeluarkan feses. Hal ini disebabkan oleh gangguan pemisahan kloaka pada saat kehamilan. Menurut Mubarok (2015) berdasarkan letaknya, atresia ani dibedakan menjadi 3 jenis yaitu.
  1. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M.
    puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm. Letak supralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital.
  2. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak menembusnya.
  3. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm.
    Tindakan awal untuk memperbaiki atresia ani adalah kolostomi.
Kolostomi merupakan pembuatan stoma atau lubang di abdomen (Nelms dkk, 2007). Namun operasi ini hanya bersifat sementara dan diperlukan operasi lanjutan. Perlu dilakukan kolostomi terlebih dahulu agar resiko infeksi dapat dicegah. Infeksi dan defisiensi masih merupakan komplikasi yang serius yang akan berpengaruh terhadap mekanisme kontinensia (Arifin, 2010).

Tuesday, April 12, 2016

Determinan Malaria


       Kejadian penyakit malaria ditentukan oleh tiga faktor yaitu host, agent, dan environment. Host berupa manusia dan nyamuk Anopheles, agent berupa parasit Plasmodium, dan environment meliputi lingkungan fisik, kimiawi, biologi serta sosial turut berperan pada kejadian atau penularan Malaria.

1. Faktor Agent



Agent atau penyebab penyakit malaria adalah semua unsur atau elemen hidup ataupun tidak hidup dalam kehadirannya bila diikuti dengan kontak yang efektif dengan manusia yang rentan akan memudahkan terjadinya suatu proses penyakit. Agent penyebab malaria adalah protozoa dari genus plasmodium.

Penyebab penyakit malaria adalah parasit genus Plasmodia, famili Plasmodiidae, orde Coccidiidae dan sub-orde Haemosporiidae. Sampai saat ini dikenal hampir 100 spesies dari Plasmodia dan pada manusia hanya 4 (empat) spesies yang dapat berkembang yaitu: P. falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale. Penyakit ini ditandai dengan demam yang berselang-seling, anemia dan limpa membesar dan dapat menyerang semua orang, bahkan dapat mengakibatkan kematian terutama yang disebabkan oleh infeksi P. falciparum pada penderita yang baru pertama kali mengalami infeksi. Sifat parasit berbeda-beda untuk setiap spesies malaria dan hal ini mempengaruhi terjadinya manifestasi klinis dan penularan.
         

Upaya Pengendalian Malaria


Upaya Pengendalian Malaria di Dunia
         WHO mencanangkan Strategi Global Pemberantasan Malaria (Global Malaria Action Plan/GMAP) tahun 1992 di Amsterdam. Tahun 1998, WHO mencanangkan kemitraan untuk pemberantasan malaria melalui Gerakan Roll Back Malaria (RBM). Kemudian, WHO atas rekomendasi WHO’s Malaria Policy Advisory Committee (MPAC), mengeluarkan pedoman berbagai bidang kebijakan, termasuk target cakupan universal pada kelambu insektisida tahan lama dan capacity building dalam entomologi malaria dan pengendalian vektor.
         GMAP memiliki target untuk mengurangi angka kematian malaria global hingga mendekati nol,  mengurangi kasus malaria hingga 75%, dan eliminasi malaria pada 10 negara baru dan benua Eropa. Target tersebut diharapkan dapat tercapai pada akhir 2015. Sementara, dana untuk program Global Malaria Action Plan (GMAP) diperkirakan lebih dari 5,1 miliar dolar per tahun antara tahun 2011 dan 2020.
         Sementara progres dari upaya tersebut, 59 dari 103 negara dengan kasus malaria mencapai target untuk menurunkan insidensi malaria. Sementara 52 negara lainnya tengah dalam proses untuk mencapai target menurunkan insidensi malaria sebesar 75% pada 2015, termasuk diantaranya 8 negara di benua Afrika.

Upaya Pengendalian Malaria di Indonesia

         Program pembasmian malaria di Indonesia dimulai pada tahun 1959-1965 dengan kegiatan intensif penyemprotan rumah dan pengobatan masal dengan Klorokuin terutama di Jawa dan Bali. Kemudian tahun 2000, Gebrak Malaria (Gerakan Berantas Kembali Malaria) dicanangkan di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Program ini merupakan perwujudan aksi Roll Back Malaria di Indonesia.
         Sejak tahun 2009 pemerintah telah menetapkan melalui Keputusan Menteri Kesehatan nomor 293/MENKES/SK/ IV/2009 tanggal 28 April 2009 bahwa upaya pengendalian malaria dilakukan dalam rangka eliminasi malaria di Indonesia. Adapun pelaksanaan pengendalian malaria menuju eliminasi dilakukan secara bertahap dari satu pulau atau beberapa pulau sampai seluruh pulau tercakup guna terwujudnya masyarakat yang hidup sehat yang terbebas dari penularan malaria sampai tahun 2030 dengan tahapan sebagai berikut:
2010: Eliminasi malaria di DKI, Bali dan Barelang Binkar, dimana seluruh sarana pelayanan kesehatan telah mampu melakukan konfirmasi laboratorium kasus malaria yang rendah.
2015: Eliminasi malaria di Jawa, Aceh dan Kepulauan Riau.
2020: Eliminasi malaria di Sumatera, NTB, Kalimantan, dan Sulawesi.

2030: Eliminasi malaria di Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan NTT