Penyakit ginjal kronis atau chronic kidney disease (CKD) merupakan proses patofisiologis penurunan fungsi
ginjal progresif dan umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Kriteria penyakit ginjal kronik yaitu kerusakan
ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau
tanpa penurunan Glomerulus Filtration Rate (GFR) (ISN,
2013).
Penyebab utama penyakit
gagal ginjal kronis adalah penyakit diabetes mellitus dan hipertensi. Beberapa
faktor risiko penyakit ginjal kronik antara lain pasien dengan diabetes
melitus, hipertensi, obesitas, perokok, berusia lebih dari 50 tahun, serta riwayat penyakit
keluarga seperti diabetes melitus, hipertensi & penyakit ginjal (Purwanto, 2013).
International
Society of Nephrology (2013) mengklasifikasikan CKD menjadi enam stadium
berdasarkan GFR (Glomerulus Filtration
Rate) dan tiga kategori berdasarkan albuminuria yang dinyatakan dengan AER
(Albumin Excretion Rate).
Stadium
|
GFR
(mL/menit/1,73 m2)
|
Deskripsi
|
1
|
≥90
|
Kerusakan
ginjal dengan penurunan GFR normal/meningkat
|
2
|
60-89
|
Kerusakan
ginjal dengan penurunan GFR ringan
|
3a
|
45-59
|
Kerusakan
ginjal dengan penurunan GFR ringan sampai sedang
|
3b
|
30-44
|
Kerusakan
ginjal dengan penurunan GFR sedang sampai berat
|
4
|
15-29
|
Kerusakan
ginjal dengan penurunan GFR berat (perlu dialisis)
|
5
|
Kurang dari 15
|
Gagal
ginjal (dialisis)
|
Kategori
|
AER
(mg/24 jam)
|
Keterangan
|
1
|
Kurang dari 30
|
Normal hingga
peningkatan albuminuria ringan
|
2
|
30-300
|
Peningkatan
albuminuria sedang
|
3
|
>300
|
Peningkatan
albuminuria berat
|
Etiologi
Penyebab utama penyakit ginjal kronis adalah diabetes dan hipertensi.
Penyakit tersebut dapat terjadi ketika kadar glukosa darah dan atau tekanan
darah pasien tidak terkontrol secara kronis. Penyebab lainnya yaitu
glumerulonefritis, penyakit ginjal kongenital, nefritis, pielonefritis, dan
tumor (Nelms dkk, 2007).
Patofisiologi
Patofisiologi penyakit gagal ginjal kronik tergantung
etiologi penyakitnya, namun proses selanjutnya kurang lebih sama. Ginjal
akan melakukan kompensasi untuk mempertahankan GFR dengan cara meningkatkan
daya filtrasi dan reabsorbsi zat terlarut
dari nefron yang
tersisa. Yang berakibat pada penebalan ginjal. Hipertrofi ini akibat
hiperfiltrasi adaptif yang
diperantarai oleh penambahan
tekanan kapiler dan
aliran glomerulus. Kompensasi yang terus menerus akan berlanjut
pada proses maladaptasi berupa sklerosis nefron
yang masih tersisa
dan akhirnya terjadi
penurunan fungsi nefron yang progresif (Purwanto,2013).
Penurunan fungsi
ginjal yang progresif
tetap berlangsung terus
meskipun penyakit primernya telah
diatasi atau telah terkontrol.
Hal ini menunjukkan
adanya mekanisme adaptasi sekunder
yang sangat berperan
pada kerusakan yang
sedang berlangsung pada penyakit
ginjal kronik. Perubahan dan
adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal
akan menyebabkan pembentukan jaringan
ikat dan kerusakan
nefron yang lebih
lanjut. Demikian seterusnya
keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan gagal ginjal
terminal (Purwanto, 2013).
Beberapa hal
yang juga dianggap
berperan terhadap terjadinya
progresivitas penyakit
ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Albuminuria yang terus menerus
akan mengakibatkan hipoalbuminemia dan menurunkan tekanan onkotik. Hal tersebut
memungkinkan terjadinya pergeseran cairan ke ruang interstitial dan timbul
gejala edema pada pasien. Pergeseran cairan akan menurunkan volume darah
sehingga ginjal akan mengeluarkan aldosteron dan stimulasi renin-angiotensin.
Kedua hal tersebut akan memperberat edema dan menimbulkan hipertensi (Wahyuningsih,
2013).
Selain
edema, pasien gagal ginjal kronik juga dapat mengalami anemia. Anemia terjadi
karena produksi hormon eritropoetin yang berkurang. Hormon eritropoetin
berfungsi sebagai pemacu pembentukan sel darah merah dan dihasilkan oleh sel
tubular ginjal. Berkurangnya kadar eritropoetin akibat gagal ginjal, akan
menurunkan sintesis eritrosit dan hemoglobin. Hal tersebut akan berdampak pada
terjadinya anemia. Anemia yang tak tertangani dapat mengakibatkan terjadinya
pembesaran jantung, hipertropi ventrikular, angina, gagal jantung kongestif,
malnutrisi, pelemahan respon imun, dan peningkatan mortalitas (Nelms dkk,
2007).
No comments:
Post a Comment